Hukum Menjual barang yang belum dimiliki
Salah satu bentuk jual beli yang dilarang dalam Islam adalah
seseorang yang menjual barang yang bukan miliknya. Larangan ini
meliputi tiga hal :
Pertama: Larangan Menjual Sesuatu Yang Bukan Miliknya
Bagaimana hukum menjual barang kredit?
Hal ini dipertegas oleh hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata :
Ini dikuatkanjuga dengan hadist Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu , bahwasanya beliau berkata :
Dalam riwayat lain, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan :
Ketiga: larangan menjual air yang berlebih
Jika seseorang mempunyai air yang berlebih, sedang tetangganya sangat membutuhkannya, maka dia tidak boleh menjual air tersebut kepadanya. Hal ini berdasarkan hadist Jabir bin Abdullah bahwanya ia berkata :
Pertama: Larangan Menjual Sesuatu Yang Bukan Miliknya
Larangan ini berdasarkan hadist Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ
فَيَسْأَلُنِي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي أَبِيعُهُ مِنْهُ ثُمَّ
أَبْتَاعُهُ لَهُ مِنْ السُّوقِ قَالَ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Wahai Rasulullah, ada seseorang
yang mendatangiku seraya meminta kepadaku agar aku menjual kepadanya
barang yang belum aku miliki, dengan cara terlebih dahulu aku membelinya
untuknya dari pasar?” Rasulullah menjawab : “Janganlah engkau menjual
sesuatu yang tidak ada padamu .” (Shahih, HR Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah)
Begitu juga, jika seseorang diamanati
harta anak yatim untuk dikembangkan, maka dibolehkan baginya untuk
melakukan transaksi jual beli demi kemaslahatan anak yatim.
Orang yang membeli barang secara kredit dan belum lunas, mempunyai dua keadaan,
- Keadaan Pertama: dia mempunyai komitmen dan mampu membayar utangnya dan mempunyai jaminan atas hal itu, maka dibolehkan baginya menjual barang yang dibelinya dengan cara kredit tersebut.
Inilah yang dilakukan kebanyakan para
pedagang di pasar-pasar, dimana mereka menjual barang-barang yang
dibelinya dari pihak lain, dan biasanya pembayarannya belum lunas. Ini
sudah berlaku di masyarakat selama ini dan para ulama tidak
mempermasalahkannya.
- Keadaan Kedua: dia tidak mampu membayar utangnya dan barang tersebut sebagai jaminan dari penjualnya yang pertama, yaitu jika mampu membayar sampai lunas, maka barang tersebut menjadi miliknya secara penuh, sebaliknya jika tidak mampu melunasi utang, barang tersebut sebagai jaminannya. Dalam keadaan seperti, dia tidak boleh menjual barang tersebut, karena terkait dengan utang yang belum dibayarnya. Seperti orang yang membeli motor dengan kredit, ketika tidak bisa melunasi utangnya. dia menjual motor itu, padahal motor itu sebagai jaminan atas utangnya. Hal ini tidak dibolehkan karena tidak memiliki motor tersebut secara penuh.
Bentuk lain dari jual beli barang yang
tidak dimiliki adalah menjual barang yang belum sepenuhnya berada di
tangan kita, walaupun barang itu telah kita beli dan lunas, tetapi
barang tersebut masih dalam proses pengiriman atau masih dalam
perjalanan.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
“Barangsiapa yang membeli makanan,
maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia mendapatkannya secara
sempurna ( sampai di tangannya)” (HR. Bukhari dan Muslim ).
Di dalam riwayat lain disebutkan:
وعَنْ طَاوُسٍ عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (نَهَى أَنْ يَبِيعَ الرَّجُلُ طَعَامًا حَتَّى
يَسْتَوْفِيَهُ). قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ : كَيْفَ ذَاكَ ؟ قَالَ : ذَاكَ
دَرَاهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأٌ.
“ Dari Thowus, dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menjual makanan sampai dia mendapatkannya secara sempurna.(
sampai di tangannya). Saya bertanya pada Ibnu Abbas:“ Bagaimana hal itu
(bisa dilarang) ? Dia berkata : “ Yang demikian itu seakan-akan dia
membeli uang dirham dengan uang dirham lainnya, sedangkan makanannya
terundur kedatangannya(tidak ada)”(HR Bukhari dan Muslim)
Berkata Ibnu Hajar al-Astqalani di dalam Fathu al-Bari ( 4/ 349 ) menerangkan masalah di atas :
“ Maksud dari hadist di atas bahwa
Thowus bertanya tentang sebab larangan ini, maka Ibnu Abbas menjawabnya
bahwa jika pembeli itu menjual makanan tersebut sebelum memegangnya,
sedangkan makanan yang dijual tersebut masih masih di tangan penjual
(pertama), maka seakan-akan dia menjual sejumlah uang dirham dengan
mendapatkan sejumlah uang dirham lain.
Hal itu diterangkan oleh riwayat Sufyan
dari Ibnu Thowus di dalam Shohih Muslim, Thowus berkata, ‘Aku berkata
pada Ibnu Abbas : “ Kenapa dilarang ?” Beliau menjawab, “ Tidakkah kamu
melihat mereka telah melakukan jual beli dinar dengan dinar ( uang
dengan uang ), padahal makanan terlambat kedatangannya ( tidak ada ),
maksudnya jika seseorang membeli makanan dengan 100 dinar umpamanya,
dan uang tersebut telah diserahkan kepada penjual, sedangkan dia belum
menerima makanan tersebut, kemudian dia (sang pembeli) menjual kembali
makanan tersebut kepada orang lain dengan harga 120 dinar, dan dia sudah
menerima uangnya sebesar itu, sedangkan makanan tersebut masih di
tangan penjual (pertama), maka hal itu seakan-akan dia menjual 100
dinar dengan 120 dinar.
Berdasarkan penafsiran diatas, maka
larangan ini tidak hanya berlaku pada jual-beli makanan saja. Oleh
karena itu, Ibnu Abbas mengatakan, “ Saya tidak mengira segala sesuatu (
yang dijual-belikan ) kecuali hukumnya seperti itu “.
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى
يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رحالهم
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual barang yang dibeli hingga para pedagang menempatkan barang tersebut di kendaraan-kendaraan mereka.” (HR. Abu Daud dan dishohihkan Ibnu Hibban ) “
وَكُنَّا
نَشْتَرِى الطَّعَامَ مِنَ الرُّكْبَانِ جِزَافًا فَنَهَانَا رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ
مَكَانِهِ
“Kami dahulu membeli makanan dari
orang yang berkendaraan secara borongan (tanpa ditimbang), kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menjual barang
tersebut sampai barang tersebut dipindahkan dari tempatnya” (HR. Muslim ) .
كُنَّا فِى
زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ
فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ
الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.
“Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membeli makanan, lalu beliau mengutus seseorang yang memerintahkan kami
agar memindahkan makanan yang sudah kami beli di tempat tersebut ke
tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim).Ketiga: larangan menjual air yang berlebih
Jika seseorang mempunyai air yang berlebih, sedang tetangganya sangat membutuhkannya, maka dia tidak boleh menjual air tersebut kepadanya. Hal ini berdasarkan hadist Jabir bin Abdullah bahwanya ia berkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّه صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّم عَنْ بَيْعِ فَضْلِ المَاء.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menjual air yang berlebihan. “ (HR Muslim)
Air adalah ciptaan Allah untuk keperluan
manusia dan hewan, maka tidak boleh seseorang memonopolinya sendiri dan
menjualnya kepada orang lain. Ini berlaku jika air itu berada di tanah
umum.
Adapun jika seseorang mengambil air dari
tempat umum dengan ember dan dibawa ke rumahnya, maka air tersebut
telah menjadi miliknya, dibolehkan baginya menjualnya kepada orang lain.
Oleh karena itu dibolehkan menjual air
dalam kemasan, karena dia telah mengambilnya dari sumber air, kemudian
mengolahkannya dan mengemasnya dalam suatu wadah. Ini semuanya
memerlukan biaya, maka dibolehkan baginya untuk menjualnya.
Berkata Imam Muslim di dalam Syarh Shahih Muslim:
أمَّا إِذَا أَخْذَ الْمَاءَ فِي إِنَاءٍ مِنَ الْمَاءِ الْمُبَاحِ فَإِنَّهُ يَمْلِكُهُ ، هَذَا هُوَ الصَّوَابُ
“ Adapun jika ia mengambil air dengan panci dari tempat umum, maka itu menjadi miliknya. Inilah pendapat yang benar “.
sangat bermanfaat pencerahannya bos...
BalasHapussama-sama bos
BalasHapus